Realitas dalam Filsafat, Sains dan Agama

Realitas dalam Filsafat, Sains dan Agama Filsafat, sains dan agama beribicara mengenai realitas, segala sesuatu yang bisa kita cerap. Filsafat lahir terlebih dulu, sains baru muncul kemudian. Filsafat muncul karena ketakjuban mendalam ketika orang bersentuhan dengan realitas (dunia tempat hidupnya dan dirinya sendiri). Ketakjuban ini meninggalkan goresan mendalam dan tak henti menimbulkan pertanyaan. Orang kemudian mengajukan pertanyaan dengan sengaja untuk mendapatkan penjelasan. Dari mana asal semua benda? Apa itu cinta, kebaikan, kebahagiaan? Orang kemudian berolah pikir, sekuat tenaga menggunakan kemampuan akalnya untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Sudah banyak yang bisa dicapai dan dihasilkan. Sudah banyak manfaat yang bisa diambil dan hingga kini penyelidikan semacam itu tidak berhenti.

Tetapi filsafat hanya bergerak di tataran akal murni. Hasil penyelidikan dirumuskan dalam suatu pernyataan (proposisi). Bagaimana menilai benar tidaknya suatu pernyataan? Cukup dengan merujukkannya pada kaidah logika. Itu sebabnya logika sangat penting dalam filsafat. Logika adalah fondasi filsafat.

Sains tidak puas dengan ini. Dalam sains suatu pernyataan baru bisa dikatakan benar jika ia mengikuti kaidah logika dan merujuk pada bukti faktual. Bukti faktual ini harus bisa didapat dengan pengamatan (observasi). Sains dengan begitu bersifat empiris sementara filsafat spekulatif. Pernyataan filsafat analitik apriori; pernyataan sains sintetik a posteriori.

Cara yang ditetapkan oleh filsafat dan sains untuk menjelaskan realitas menghasilkan pagar pembatas mengenai pemaknaan realitas. Bagi sains realitas adalah segala sesuatu yang bisa diobservasi, bagi filsafat realitas adalah segala sesuatu yang bisa dipikirkan. Sains kemudian memfokuskan diri pada hal-hal yang dapat dinyatakan secara kuantitatif. Fisika misalnya, menyelidiki materi dan energi, karena kedua hal ini dapat diukur dan ditimbang.

Apakah realitas itu terbatas pada segala sesuatu yang terobservasi dan atau segala sesuatu yang terpikirkan? Agama menjawab: Tidak! Apa yang dimaknai realitas menurut sains dan filsafat hanyalah sebagian dari keseluruhan realitas. Realitas dalam pandangan agama mencakup segala sesuatu yang dibicarakan dalam sains dan filsafat plus segala sesuatu yang sama sekali tidak dapat –bukan saja– diobservasi tetapi bahkan akal sekalipun tidak dapat memahaminya.

Hal-hal kualitatif seperti cinta, kebaikan, kebahagiaan tidak bisa dibicarakan dan diselidiki dalam sains karena tidak ada factual evidences yang dapat diobservasi dari hal-hal semacam ini. Filsafat masih bisa memperbincangkannya. Lalu bagaimana dengan realitas yang sama sekali tidak tercerap akal? Agama mengajarkan penggunaan perangkat lain selain akal untuk dapat bersentuhan dengan realitas semacam ini. Agama menunjukkan qalbu. Dengan qalbu kita bisa mengimani segala sesuatu yang tidak bisa kita observasi dan pikirkan.

Home | About | Blogging | Daily Life | Insights | News | Videos | SEO

4 thoughts on “Realitas dalam Filsafat, Sains dan Agama

    • ujung-ujungnya YA
      cuma cara ini yang biasanya memberi penyelesaian
      walau tidak segala sesuatunya bisa dimengerti
      terima kasih sudah berkunjung
      salam

      Reply

Leave a comment